Hujan Deras Ancam Jabodetabek di Tengah Musim Kemarau, BRIN Ungkap Penyebabnya

 


Radiojfm.com - Masyarakat Jabodetabek diimbau waspada terhadap potensi hujan deras yang diprediksi akan semakin intens dan meluas meskipun Indonesia saat ini berada di tengah musim kemarau.

Peringatan ini disampaikan oleh Pakar Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, yang menyebut fenomena ini dipicu oleh menghangatnya perairan di sekitar Indonesia.

Menurut Erma, selama dasarian kedua Agustus 2025 (11–20 Agustus), hujan harian di Jabodetabek akan memiliki karakteristik deras, persisten, dan cepat meluas. 

“Peningkatan hujan ini terjadi karena modulasi hujan yang biasanya hanya berasal dari pegunungan di selatan Bogor, kini ditambah dengan sistem hujan intensif yang terbentuk di Laut Jawa,” ungkap Erma melalui akun Instagramnya, Selasa, 12 Agustus 2025.

Gabungan sistem hujan dari pegunungan dan laut membuat curah hujan berpotensi lebih lebat, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Tidak hanya itu, pembentukan sistem hujan di Laut Jawa diprediksi akan memengaruhi cuaca di Jawa bagian tengah hingga timur.

Selain curah hujan tinggi, Erma menyoroti fenomena konvergensi atau pertemuan angin di Laut Jawa yang dapat memicu pembentukan pusaran badai mesovortex. Saat ini, pusaran tersebut berada dalam fase prakondisi dan diperkirakan akan mencapai puncak pada 19 Agustus atau akhir dasarian kedua.

“Mesovortex ini ada karena adanya sistem konvergensi. Dia bisa melemah atau menguat, tapi pada puncaknya nanti ukurannya akan besar,” jelasnya.

Erma menegaskan bahwa anomali iklim kali ini tidak dipengaruhi oleh fenomena global seperti La Niña atau Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Berdasarkan analisis, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia tidak menunjukkan anomali signifikan yang biasanya memicu perubahan iklim besar.

Penyebab utama justru datang dari pemanasan laut lokal atau warming ocean, terutama di wilayah Southeastern Tropical Indian Ocean (Setio) dan Laut Jawa. Pemanasan ini meningkatkan penguapan secara maksimal, memicu konvergensi, dan memperkuat sistem hujan. 

“Laut yang menghangat membuat proses penguapan lebih besar, yang kemudian menghasilkan pertemuan angin dan memperkuat hujan,” terangnya.

Kondisi ini juga disertai pembentukan angin yang saling bertabrakan, menciptakan pusaran berskala kecil yang terus membesar hingga berskala meso. Dampaknya, hujan ekstrem bisa terjadi meskipun seharusnya musim kemarau berlangsung kering.

Erma menyebut fenomena kemarau basah ini kemungkinan besar akan bertahan hingga tahun depan selama tidak muncul El Niño atau IOD positif yang biasanya mengurangi curah hujan di Indonesia. “Musim kemarau kita akan cenderung mengalami wet anomaly of dry season atau anomali basah di musim kemarau, seperti yang kita alami sekarang,” tutupnya.

Dengan kondisi ini, masyarakat di Jabodetabek dan wilayah lain yang terdampak diimbau untuk selalu memantau perkembangan cuaca, mengantisipasi potensi banjir lokal, serta menjaga kesehatan selama periode cuaca ekstrem.***

Posting Komentar

0 Komentar