Radiojfm.com - Di balik nama Depok yang kini identik sebagai kota penyangga Jakarta, tersimpan kisah sejarah yang jarang dibicarakan.
Nama Depok bukan sekadar penanda wilayah, melainkan memiliki makna khusus yang berasal dari bahasa Belanda dan erat kaitannya dengan peran seorang mantan pegawai VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bernama Cornelis Chastelein pada abad ke-17.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa wilayah yang kini bernama Depok pernah menjadi pusat Residensi Ommelanden van Batavia atau Keresidenan Daerah Sekitar Jakarta. Status ini mengacu pada Keputusan Gubernur Batavia tertanggal 11 April 1949.
Nama Depok sendiri diyakini berasal dari singkatan bahasa Belanda De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang berarti Organisasi Kristen Protestan Pertama dalam bahasa Indonesia.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa wilayah yang kini bernama Depok pernah menjadi pusat Residensi Ommelanden van Batavia atau Keresidenan Daerah Sekitar Jakarta. Status ini mengacu pada Keputusan Gubernur Batavia tertanggal 11 April 1949.
Nama Depok sendiri diyakini berasal dari singkatan bahasa Belanda De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang berarti Organisasi Kristen Protestan Pertama dalam bahasa Indonesia.
Hubungan erat antara Depok dan sejarah Kristen Protestan tak terlepas dari pengaruh Chastelein, yang dikenal sebagai tokoh penting pada masa kolonial.
Cornelis Chastelein: Dari Pegawai VOC hingga Tuan Tanah
Cornelis Chastelein lahir pada 1658 dan memulai karier di VOC pada usia 20-an. Awalnya ia bekerja sebagai pengawas gudang, namun kariernya perlahan menanjak hingga menjadi saudagar utama dan anggota Dewan Kota Batavia.
Selama 20 tahun mengabdi, ia menerima gaji bulanan antara 200–350 gulden, jumlah yang besar pada masanya. Alih-alih menghabiskan uang tersebut, Chastelein menginvestasikannya untuk membeli lahan di sekitar Batavia. Pada 1693, ia membeli tanah pertamanya di kawasan Weltevreden (kini Gambir) untuk perkebunan tebu.
Dua tahun kemudian, ia pensiun dari VOC dan membeli tanah di Srengseng (kini Lenteng Agung), membangun rumah besar, dan membawa keluarganya beserta 150 budak, sebagian berasal dari luar Jawa dan telah memeluk agama Kristen.
Membebaskan Budak dan Membangun Komunitas
Berbeda dengan praktik umum pada masa itu, Chastelein dikenal menghormati hak asasi manusia. Ia membebaskan para budaknya dan memberi mereka kesempatan untuk mengelola rumah besar di Srengseng serta perkebunannya di Mampang dan Depok.
Perkebunan tersebut menghasilkan komoditas penting seperti tebu, lada, pala, dan kopi, yang membuat Chastelein menjadi salah satu orang terkaya di Batavia.
Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, tiga bulan setelah menulis wasiat berisi pembagian harta untuk keluarga dan bekas budaknya. Ia juga mengamanatkan agar tanah miliknya dijadikan pusat penyebaran agama Kristen di Batavia.
Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, tiga bulan setelah menulis wasiat berisi pembagian harta untuk keluarga dan bekas budaknya. Ia juga mengamanatkan agar tanah miliknya dijadikan pusat penyebaran agama Kristen di Batavia.
Lahirnya Nama Depok
Dari amanat tersebut lahirlah komunitas De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang disingkat menjadi Depok. Para anggotanya termasuk keturunan para budak yang dibebaskan, kemudian dikenal sebagai “Belanda Depok”. Nama ini terus melekat hingga era modern.
Kini, meski banyak versi baru bermunculan, termasuk plesetan populer “Daerah Permukiman Orang Kota”, akar sejarah nama Depok tetap menjadi bagian penting dari identitas kota ini.
Kisah Chastelein bukan hanya cerita tentang seorang tuan tanah, tetapi juga tentang pembentukan komunitas, kebebasan, dan warisan budaya yang masih terasa hingga sekarang.***
0 Komentar